Pluralitas Fatwa Ibadah Masa Pandemi Covid-19 di Lembaga Majelis Ulama Indonesia


 Fatwa adalah pertimbangan hukum Islam yang disampaikan oleh seorang mufti atau ulama, baik secara individual maupun kolektif. Fatwa menjadi jawaban dari pertanyaan maupun bentuk respon terhadap problem yang muncul di masyarakat. Fatwa MUI adalah fatwa yang cukup signifikan ketika terjadi pandemi Covid-19 di dunia termasuk di Indonesia. Namun fatwa yang telah dikeluarkan oleh MUI Pusat sebagai pedoman masyarakat umat Islam dalam melakukan aktivitas peribadatan di musim pandemi Covid-19 tersebut tidak serta merta sama atau diikuti dan disosialisasikan oleh MUI di tingkat daerah.
Terdapat beberapa fatwa MUI Pusat yang berbeda dengan fatwa MUI tingkat daerah. Fatwa -fatwa tersebut adalah Fatwa MUI Pusat Nomor 14 tahun 2020 yang berisi penyelenggaraan ibadah dalam situasi terjadi wabah Covid-19 menyebutkan bahwa untuk kondisi penyebaran Covid-19 yang tidak terkendali di suatu daerah dan mengancam jiwa, maka umat Islam tidak boleh melakukan salat jumat di daerah tersebut, sehingga keadaan menjadi normal dan harus menggantikannya dengan salat zuhur di daerah masing-masing.  Demikian juga tidak boleh melakukan aktifitas ibadah yang mengikutkan orang banyak dan dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah salat lima waktu, salat tarawih dan salat id di masjid dan tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim. Namun MUI Sumatera Barat mengeluarkan fatwa bahwa masyarakat masih dibolehkan untuk melakukan salat berjamaah di masjid bahkan dengan saf rapat sekalipun. Demikian juga berkaitan dengah keharaman vaksin Covid-19 produksi Astrazeneca, MUI Sumatera Utara mengeluarkan fatwa yang menguatkan fatwa MUI Pusat. Namun MUI Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa MUI pusat. MUI Jawa Timur menyatakan bahwa vaksin Covid-19 produksi Astrazeneca adalah halal. Hal ini diikuti oleh fatwa MUI Bojonegoro. MUI Pusat telah mengeluarkan fatwa bahwa pelaksaan salat jumat dua gelombang (lebih dari satu kali) di tempat yang sama pada waktu yang berbeda hukumnya tidak sah walaupun terdapat uzur syar’i (alasan yang dibenarkan secara hukum), namun MUI DKI Jakarta mengeluarkan fatwa bolehnya salat jumat secara bergelombang.
Penyebab terjadinya perbedaan keputusan dalam fatwa antara MUI Pusat dengan keputusan MUI daerah adalah karena masing-masing Lembaga MUI mempunyai metode istinbath hukum dan sudut pandang yang berbeda. Untuk kasus yang sama dengan metode istinbath hukum dan sudut pandang yang berbeda, menghasilkan fatwa yang berbeda seperti pada perbedaan fatwa larangan salat berjamaan di masjid antara metode istinbath hukum yang tekstual dari MUI Sumatera Barat dengan istinbath hukum yang kontekstual MUI Pusat. Demikian juga karena adanya sudut pandang yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan fatwa antara MUI Pusat dan MUI daerah seperti kasus status kehalalan vaksin astrazeneca anatara MUI Pusat dengan MUI Jawa Timur. Tipe istinbath hukum yang sama yaitu tipe kontekstual namun dengan sudut pandang yang berbeda menghasilkan fatwa yang berbeda. Kemudian untuk kasus fatwa larangan salat jumat bergelombang lebih disebabkan karena kondisi perubahan sosial. Fatwa MUI Pusat yang melarang salat jumat bergelombang karena muncul dalam keadaan normal sedangkan fatwa bolehnya salat jumat bergelombang karena sedang terjadi wabah covid-19 walaupun sebenarnya anatar keduanya mempunyai tipe istinbath hukum yang kontekstual.

Judul : Pluralitas Fatwa Ibadah Masa Pandemi Covid-19 di Lembaga Majelis Ulama Indonesia
Penulis: Marwadi, Mughni Labib
Penerbit: Magnum Pustaka Utama
ISBN : Dalam Proses Pengajuan
Harga : Rp. 85.000
Info Pemesanan : +6287839814456

Penerbit Magnum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar