Buku yang diberi judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender; karya Aksin Wijaya ini merupakan model kegelisahan “baru” akan dominasi nalar Arab dalam teks keagamaan, dalam hal ini Al-Qur'an. Dikatakan “kegelisahan baru” mengingat pikiran-pikiran yang dilontarkan turut “mempermasalahkan” Mushaf Utsman yang oleh sebagian besar pengkaji Al-Qur'an justru tidak lagi dipermasalahkan. Sederet pemikir kontemporer seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Nasr Abu Zayd, Abdul Karim Shoroush, dan Muhammad Syahrur, misalnya, dengan seabrek tawaran metodologis serta pemikiran kritis lainnya tentang Al-Qur'an, tidak menyinggung Mushaf Utsman sebagai korpus yang pantas “digugat”, meski mereka mengakui proses kodifikasi masa Utsman tersebut sejatinya bisa menimbulkan pertanyaan.
Poin penting yang didialogkan dalam karya ini sejatinya tentang penafsiran ulang ayat-ayat gender. Hanya saja, penulis banyak mengeluarkan energi untuk menunjukkan kuatnya nalar dan budaya Arab sebagai “bungkus” dan kemasan wahyu. Hal tersebut sah-sah saja, mengingat di dalam khazanah intelektual Islam “dominasi” nalar Arab memang tidak bisa dipungkiri. Tidak sedikit jumlah karya para pemikir rasional-liberal, baik yang klasik maupun kontemporer, yang memperkokoh “hegemoni” nalar Arab tersebut.
Kekayaan khazanah intelektual klasik menjadi indikator akan suburnya keberanian para pemikir zaman tersebut untuk mendekati dan mengkaji Al-Qur'an “tanpa beban”. Keberanian ini tentunya sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa kurun pasca generasi al-Jahiz, khususnya ketika disiplin tafsir melahirkan apa yang dikenal dengan “kelembagaan” tafsir. Artinya, tafsir telah menjadi sosok yang “menakutkan” mengingat berat dan kompleksnya persyaratan-persyaratan yang diajukan ulama tafsir jika seseorang hendak menafsirkan Al-Qur'an. Akibatya, disiplin yang seharusnya tetap segar dan menuntut penyegaran dan sekaligus menjadi tanggung jawab setiap generasi mengalami stagnasi yang cukup panjang. Adalah Muhammad Abduh yang kemudian diikuti oleh beberapa pemikir modem lainnya, yang membuka kreativitas dan kesadaran intelektual akan tugas tafsir yang tidak kenal henti.
Apa pun hasil penafsiran, dan siapapun yang menghasilkan, hendaknya disikapi sebagai pemenuhan tugas mulia dari generasi. Untuk itu, kehadiran buku Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan selayaknya ditempatkan dalam kerangka pemenuhan tugas tersebut.
Judul : Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik atas Nalar Tafsir Gender (Cetakan Kedua)
Penulis : Dr. Aksin Wijaya
Halaman : 300 halaman
ISBN : 978-602-9750-43-0
Harga : Rp. 80.000
Popular Posts
-
Penulis: Dias Andris Susanto Ukuran: 16 cm x 24 cm Tebal: vi + 162 Tahun terbit: Cetakan I, Februari 2020 ISBN: 978-623-92545-3-7 Penerbit:...
-
Anda ingin menerbitkan tulisan Anda menjadi sebuah buku. Naskah, disertasi, tesis, skripsi atau apa pun bentuk tulisan Anda sudah seles...
-
Buku Filsafat Pancasila ini disusun atas kesadaran bahwa pengetahuan Pancasila dalam perspektif filosofis dirasa penting bagi masyarakat...
-
Buku Pendidikan Karakter melalui Budaya Sekolah ini hadir salah satu sebabnya adalah banyaknya penyimpangan yang terjadi di masyarak...
-
Buku Etika Pancasila: Nilai-nilai Pembentuk Karakter ini dimaksudkan sebagai buku pendidikan karakter di dalam kehidupan kampus, sebaga...
-
Penulis: Dias Andris Susanto Ukuran: 16 cm x 24 cm Tebal: X + 292 Tahun terbit: Cetakan I Februari 2020 ISBN: 978-602-5789-86-1 Penerbit: M...
-
Pembelajaran IPS di SD pada dasarnya dimaksudkan untuk pengembangan pengetahuan, sikap, nilai-moral, dan keterampilan siswa agar menjad...
-
Barang yang biasa, ketika dipasarkan dengan cara yang hebat, akan mengalahkan barang yang hebat tapi dipasarkan dengan cara yang biasa. Pe...
-
Demokrasi yang hakikatnya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat itu secara ontologis substansial mengandung keseimbangan, keseimban...
-
Konsep Pelajar Pancasila, adalah profil pelajar Indonesia yang merupakan pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berpe...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar